TRADISI DAN KEBUDAYAAN LOKAL KABUPATEN KUNINGAN
A. UPACARA SEREN TAUN
Upacara seren taun adalah ungkapan syukur dan do’a masyarakat sunda atas suka duka yang mereka alami terutama di bidang pertanian selama setahun yang telah berlalu dan tahun yang akan datang. Seren taun dilaksanakan setiap tanggal 22 Bulan Rayagung sebagai bulan terakhir dalam perhitungan kalender sunda. Selain ritual-ritual yang bersifat sakral, digelar juga kesenian dan hiburan. Dengan kata lain kegiatan ini merupakan hubungan antara manusia dengan tuhan, dan juga dengan sesama mahluk atau alam baik lewat kegiatan kesenian, pendidikan, dan sosial budaya.
Upacara Seren Taun diawali dengan upacara ngajayak ( Menjemput Padi ), pada tanggal 18 Rayagung yang dilanjutkan dengan upacara penumbukan padi dan sebagai puncak acaranya pada tanggal 22 Rayagung. Ngajayak dalam bahasa sunda berarti menerima dan menyambut, sedangkan bilangan 18 yang dalam bahasa sunda diucapkan “dalapan welas” berkonotasi welas asih yang artinya cinta kasih serta kemurahan Tuhan yang telah menganugerahkan segala kehidupan bagi umat-Nya di segenap penjuru bumi.
Puncak acara Seren Taun berupa penumbukan padi pada tanggal 22 Rayagung juga memiliki makna tersendiri. Bilangan 22 dimaknai sebagai rangkaian bilangan 20 dan 2. Padi yang ditumbuk pada puncak acara sebanyak 22 kwintal dengan pembagian 20 kwintal untuk ditumbuk dan dibagikan kembali kepada masyarakat dan 2 kwintal digunakan sebagai benih. Bilangan 20 merefleksikan unsur anatomi tubuh manusia.
Baik laki-aki ataupun perempuan memiliki 20 sifat wujud manusia, adalah : 1. getih atau darah, 2. daging, 3. bulu, 4. kuku, 5. rambut, 6. kulit, 7. urat, 8. polo atau otak, 9. bayah atau paru, 10. ari atau hati, 11. kalilipa atau limpa, 12. mamaras atau maras, 13. hamperu ataun empedu, 14. tulang, 15. sumsum, 16. lamad atau lemak, 17. gegembung atau lambung. 18. peujit atau usus. 19. ginjal dan 20. jantung.
Ke 20 sifat diatas menyatukan organ dan sel tubuh dengan fungsi yang beraneka ragam, atau dengan kata lain tubuh atau jasmani dipandang sebagai suatu struktur hidup yang memiliki proses seperti hukum adikodrati. Hukum adikodrati ini kemudian menjelma menjadi jirim ( raga ), jisim ( nurani ) dan pengakuan ( aku ). Sedangkan bilangan 2 mengacu pada pengertian bahwa kehidupan siang dan malam, suka duka, baik buruk dan sebaginya.
Dalam upacara seren taun yang menjadi objek utama adalah PADI. Padi dianggap sebagai lambang kemakmuran karena daerah Cigugur khususnya dan daerah sunda lain pada umumnya merupakan daerah pertanian yang berbagai kisah klasik satra sunda, seperti kisah Pwah Aci Sahyang Asri yang memberikan kesuburan bagi petani sebagai utusan dari Jabaning Langit yang turun ke bumi. Dalam upacara seren taun inilah dituturkan kembali kisah-kisah klasik pantun sunda yang bercerita tentang perjalanan Pwah Aci Sahyang Asri. Selain itu, padi merupakan sumber bahan makanan utama yang memiliki pengaruh langsung pada ke-20 sifat wujud manusia diatas.
Dalam Upacara Seren Taun menampilkan, Damar Sewu merupakan sebuah helaran budaya yang mengawali rangkaian upacara adat seren taun Cigugur. Merupakan gambaran manusia dalam menjalani proses kehidupan baik secara pribadi maupun sosial. Tari Buyung yang merupakan tarian adat sunda yang mencerminkan masyrakat sunda dalam mengambil air,
Pesta Dadung merupakan upacara sakral masyarakat dilaksanakan di Mayasih yang merupakan upaya meruwat dan menjaga keseimbangan antara positif dan negatif di alam, jadi pesta dadung merupakan upaya meruwat dan menjaga keseimbangan alam agar hama dan unsur negatif tidak menggangu kehidupan manusia.
Ngamemerokeun merupakan upacara sakral didalam tradisi Sunda Wiwitan yang masih dilaksanakan di daerah Kanekes ( Baduy ). Upacara ini berintikan “ mempertemukan dan mengawinkan “ benih padi jantan dan betina. Selanjutnya Tarawangsa yakni seni yang berasal dari mataram kira-kira abad ke XV, seni Tarawangsa disebut juga seni jentreng, menginduk kepada suara kecapi, juga ada yang menamai seni ngekngek, menginduk kepada suara tarawangsa. Mula-mula yang dipentaskan hanya tabuhan kecapi dan tarawangsa saja, tapi disertai penari, agar lebih menarik akhirnya Tarawangsa dilengkapi dengan tarian-tarian sederhana yang disebut tari Badaya.
Pwah Aci atau yang lebih dikenal dengan Dewi Sri merupakan tokoh yang telah melegenda dan memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat agraris khususnya tatar sunda. Tari Pwah Aci merupakan salah satu seni tari spiritual yang di dalamnya tersirat ungkapan rasa hormat dan bhakti kepada Sang Pemberi Hidup melalui gerak dan ekspresi.
Seribu Kentongan merupakan acara penutup rangkaian acara di bukit Situ Hyang. lebih dari 1000 orang terdiri dari masyarakat dan anak-anak sekolah serta seluruh peserta pendukung rangkaian acara seren taun menuju Paseban Tri Panca Tunggal ditutup dengan 10 orang rampak kendang. Dimulai dengan pukulan induk oleh Ketua Adat kemudian diikuti oleh ribuan peserta. Ini memiliki makna bahwa kentongan awi ( Bambu ) memiliki arti kita harus senantiasa ingat dan eling pada asal wiwitan atau hukum adikodrati yang menentukan nilai kemanusian dan kebangsaan.
Dilihat dari sisi budaya, upacara adat seren taun yang sudah berjalan tahunan di Kabupaten Kuningan ini, tentunya merupakan hal yang dapat dibanggakan oleh masyarakat karena setiap helatan Seren Taun ini dilaksanakan, dapat mendatangkan ribuan pendatang wisatawan domestik maupun mancanegara. Hanya saja dilihat dari sisi ekonomis belum dapat memberikan efek ekonomi kepada masyarakat sekitar.
Sehingga merupakan tugas kita semua, dalam setiap helaran yang rutin dilaksanakan setiap tahun ini dapat memberikan nilai ekonomi yang fositif kepada masyarakat sekitar. Seperti contoh masyarakat sekitar dapat membuat cendra mata khas Cigugur dan barang-barang yang mempunyai nilai khas sehingga para pendatang mempunyai kenangan tersendiri terhadap upacara seren taun ini dengan membeli barang tersebut.
Semoga di tahun-tahun yang akan datang hal ini dapat dimanfaatkan sebagai ajang peningkatan ekonomi masyarakat dan juga meningkatkan dunia pariwisata masyarakat Kabupaten Kuningan. ( Bagian Humas Setda Kabupaten Kuningan).
B. CINGCOWONG
Cingcowong merupakan tradisi warisan kepercayaan animisme-pemujaan terhadap roh. Tradisi ini dilaksanakan pada saat kemarau panjang.
Sebagai tradisi kuno, ritual cingcowong tidak hanya terdapat di Kuningan. Di beberapa daerah terdapat ritual dengan tujuan serupa, hanya nama dan teknis pelaksanaannya berbeda. Saat ini tradisi cingcowong masih terdapat di Kecamatan Luragung. Ritual ini biasanya dilakukan oleh seorang dukun yang kemampuannya diwariskan secara turun menurun.
Salah seorang tokoh yang masih eksis dan tidak bisa dipisahkan dengan yang namanya Cingcowong adalah ibu Nawita. Dia adalah satu-satunya punduh (kuncen) Cingcowong di Kabupaten Kuningan, yang kini berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai tradisi masyarakat Blok Wage Desa Luragung Landeuh, Kecamatan Luragung, Kabupaten Kuningan ratusan tahun lalu itu.
Cingcowong sebenarnya merupakan boneka yang terbuat dari tempurung kelapa dan alat penangkap ikan (bubu). Dulu, boneka ini dijadikan alat media untuk mengadakan acara ritual pada saat kemarau panjang, yakni sebuah ritual yang tujuannya agar segera turun hujan. Terlepas percaya atau tidak dengan tradisi tersebut.
Perlengkapan untuk melaksanakan ritual cingcowong antara lain berupa sebuah boneka berkepala batok kelapa, selembar tikar, sebuah tangga bambu, sisir, cermin, ember berisi air kembang, dan arang kayu.
Ritual ini juga diiringi dengan alat musik berupa bokor kuningan dan buyung tanah. Bokor kuningan ditabuh menggunakan kayu, sedangkan buyung tanah dibunyikan dengan kipas anyaman bambu.
Saat ini, cingcowong tidak lagi hanya dilaksanakan dengan tujuan utama meminta hujan. Namun, ditempatkan sebagai "perayaan" tradisi kuno yang masih bertahan.
Kini kesenian itu diperkenalkan kembali kepada masyarakat yang dikemas lewat pagelaran seni tradisi semacam teater dan bentuk tarian cingcowong.
C. KAWIN CAI
Kabupaten Kuningan secara turun temurun telah memiliki kearifan lokal dalam menghormati dan menjaga air sebagai sumber kehidupan tradisi tersebut diberinama Tradisi Kawin Cai atau sebelumnya disebut Tradisi Mapag Cai. Masyarakat Kuningan meyakini bahwa air bersih yang berlimpah yang bersumber dari alam yaitu mata air Gunung Ciremai sebagai berkah kehidupan dari Yang Maha Kuasa, oleh karenanya harus dihormati dan dijaga kelestariannya. Tradisi Kawin Cai/ Mapag Cai ini adalah prosesi mempertemukan air dari tujuh sumber mata air Cibulan Desa Manis Kidul dengan air dari sumber mata air Balong Dalam Tirtayatra. Ritual ini biasa dilakukan setiap tahun pada hari kamis malam jumat kliwon.
Inti ritual ini mengawinkan air dari 7 sumur mata air Cibulan dengan mata air Balon Dalem Tirtayatra yang berjarak sekitar 5 kilometer. 7 sumur di mata air Cibulan dilambangkan sebagai pengantin laki-laki. Sementara mata air Balon Dalem disimbulkan sebagai mempelai perempuan.
Sebelum pengambilan air di 7 sumur keramat, dilakukan dulu pembacaan doa di depan petilasan Prabu Siliwangi agar acara kawin cai berjalan lancar.
Satu persatu para sesepuh Desa Manis Kidul mengambil air dari 7 sumur keramat. Masing-masing sumur punya nama khusus, seperti sumber kejayaan, kemuliaan, pengabulan, deranjana, cisadane, kemudahan dan sumur keselamatan.
Konon ke 7 sumur itu merupakan peninggalan Prabu Siliwangi usai bertapa meminta air kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi warga sekitar, air dari 7 sumur ini mengandung berkah dan dipercaya bisa mengobati berbagai penyakit.
Di kolam pemandian Cibulan yang kini jadi tempat wisata ini juga terdapat ikan dengan spesis khusus yakni ikan Kancra Bodas yang dikeramatkan warga. Ikan yang bernama latin Cyprinus carpio ini disebut pula sebagai ikan dewa.
Usai penyatuan 7 air sumur keramat, biasanya hujan langsung turun. Percaya atau tidak, sekitar satu menit kemudian hujan mulai membasahi bumi.
Tapi prosesi kawain cai belum selesai. Air 7 sumur diarak ke mata air Balon Dhalem di Desa Babakan Mulia. Bak menyambut mempelai pria, upacara dan tarian khusus digelar.
Acara puncak ritual kawin cai pun tiba. Air dari 7 sumur keramat Cibulan ditumpahkan ke sumber mata air Balon Dalem Tirtayata. Perkawinan yang disimbulkan dengan penyatuan mata air dari dua desa tersebut merupakan perwujudan doa dan harapan warga agar air tetap mengalir deras.
Layaknya pesta pernikahan, air diarak dan diiringi tari -tarian. Tradisi yang dinamakan kawin cai ini, memang dilangsungkan sebagai rasa syukur atas hasil panen yang melimpah.
Tradisi kawin cai ini sarat dengan budaya sunda. Terlihat dari pakaian yang mereka kenakan dan iring-iringan musik. Mereka membawa calon pengantin, yakni kendi yang akan mereka isi dengan air yang diambil dari sumbernya di kolam Balong Dalam Tirta Yatra.
Calon pengantin ini kemudian diarak dengan diiringi tari - tarian. Sepintas, prosesi ini mirip perkawinan dua anak manusia.
Air, calon pengantian pria ini dibawa untuk dipertemukan dengan pasangannya, air yang diambil dari sumber mata air tujuh sumur di kawasan wisata Cibulan, yang lokasi cukup jauh. Sumber mata air di petilasan ini dipercaya merupakan peninggalan Prabu Siliwangi.
Kedua air dari sumber berbeda ini kemudian disatukan dalam satu kendi. Kemudian dibawa kembali balong dalem untuk dikawinkan. Semua prosesi dilangsungkan dengan khidmat sehingga terasa sakral.
Tradisi kawin cai ini sebenarnya merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil panen, dan sebagai penghargaan tertinggi terhadap air, apalagi di tengah musim kemarau saat ini.
Prosesi diakhiri dengan makan bersama, yang diambil dari hasil pertanian. Sebagian warga menganggapnya sebagai berkah.
D. TARI BUYUNG
Tari Buyung adalah tarian tradisional masyarakat Cigugur Kuningan Jawa Barat. Tarian ini merupakan tarian adat yang bernilai simbolik tentang rasa syukur manusia atas rahmat Tuhan berupa alam semesta yang indah dan bermanfaat bagi hidup manusia, salah satunya adalah air. Biasanya tarian ini biasa dilakukan oleh masyarakat Cigugur, Kuningan, Cirebon saat Upacara Seren Taun yang diadakan pada bulan Rayagung pada penanggalan Jawa. Setiap gerakan dalam tari Buyung memiliki makna yang tersirat. Menginjak kendi sambil membawa buyung di kepala (nyuhun) erat relevansinya dengan ungkapan “di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung”. Buyung adalah sejenis alat yang terbuat dari logam maupun tanah liat yang digunakan oleh sebagian wanita desa pada zaman dulu untuk mengambil air di sungai, danau, mata air, atau di kolam. Gerak lembut dan nuansa alam di kala bulan purnama mengilhami lahirnya karya cipta tari yang mengisahkan gadis desa yang turun mandi dengan teman-temannya dan mengambil air di pancuran Ciereng dengan buyung. Membawa buyung di atas kepala sangat memerlukan keseimbangan. Hal ini berarti bahwa dalam kehidupan ini perlu adanya keseimbangan antara perasaan dan pikiran. Pergelaran tari buyung dengan formasi Jala Sutra, Nyakra Bumi, Bale Bandung, Medang Kamulan, dan Nugu Telu memiliki makna yang menyiratkan bahwa masyarakat petani Sunda adalah masyarakat yang religius. Tuhan diyakini sebagai Causa Prima dari segala asal-usul sumber hidup dan kehidupan. Sementara manusia merupakan mahluk penghuni bumi yang paling sempurna di antara mahluk-mahluk ciptaan Tuhan lainnya. Alam penuh dengan energi. Alam selalu bereaksi dengan tingkah laku manusia, dan ikut mempengaruhi karakter manusia. Eksistensi dalam alam makrokosmos dilihat sebagai sesuatu yang tersusun secara hierarkis. Sehingga, secara moral manusia dituntut untuk menyelaraskan hidupnya dengan alam, yaitu antara mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam raya) untuk membuahkan kesadaran mengenai penghayatan iman terhadap keagungan Tuhan Sang Maha Pencipta.
Dalam tarian itu, manusia diajak untuk lebih dekat dengan alam dan mencintainya sebagai sahabat yang harus terus berjalan bersama. Tarian ini ditampilkan saat upacara Seren Taun yakni upacara syukur atas Kemurahan Tuhan di masyarakat Cigugur.
E. REOG CENGAL
Berbeda dengan Reog yang dikenal didaerah lain, Reog Cengal merupakan perpaduan beragam macam seni. diantaranya seni Karawitan sebagai musik pengiring, silat, dan sandiwara.
Kesenian Reog Cengal yang lahir pada tahun 1946 di desa Cengal kecamatan Japara kabupaten Kuningan ini diawali dengan Tatalu, dilanjutkan Babadayan atau gerakan maju-mundur membuat formasi terhadap satu titik, Banyolan, silat dan diakhiri dengan Sandiwara.
Kesenian yang berasal dari Cengal kecamatan Jjapara ini memang pada nama hampir sama dengan reog yang umum di tatar sunda. Namun secara tatacara bermain dan langkah langkahnya sangat jauh bereda dengan reog yang umum di tatar sunda.
Reog cengal yang terkenal sekitar taun 50-70 -an kini sudah hampir punah dan sekarang pemainnya pun tinggal satu orang.Dahulu reog cengal tampil ketika acara sunatan kawinan dan upaca-upacara lain. Para pemain yang tampil biasanya dari temam-teman dekat dimana ketika mereka bermain tanpa skenario (spontan) isinya sulit ditebak namun menghibur penonton karena lebih mirip acara lawak atau bobodoran.
Ciri-ciri reog cengal:
1.terdiri dari empat orang
2.ke empat orang tersebut membawa reog yang berbeda ukuran
3.ditengah panggung reog terdapat sesajen yang ditengahnya terdapat bambu
Langah-langkah acara dalam reog cengal:
1.tataluh/pembukaan
2.pencaksilat
3.bobodoran sembari diselingi dengan karawitan
4.penutupan
Reog cengal kini sudah diakui sebagai kebudayaan indonesia sejak 2007.
F. PESTA DADUNG
Pesta Dadung adalah kesenian masyarakat Desa Legokherang, Kecamatan Subang, Kabupaten Kuningan. Kesenian ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke 18 dan sejak awal difungsikan untuk ritus kesuburan (pertanian). Ritus ini dimaksudkan sebagai bentuk pemujaan terhadap Ratu Galuh yang dipercaya masyarakat setempat sebagai ratu pelindung hewan. Ratu Galuh adalah penggembala ’batin’ dengan banyak julukan seperti Nyai Pelenggirarang, Sang Ratu Biting, Sang Ratu Bopong, Ratu Geder Dewata, atau Ratu Koja Dewatana. Julukan sebagai ratu penggembala berkaitan erat dengan tipologi masyarakat Sunda yang tergolong sebagai masyarakat pastoral atau masyarakat ladang.
Dadung, artinya tambang, biasanya terbuat dari serat kulit kayu waru yang berfungsi untuk mengikat kerbau atau sapi. Pesta Dadung tak lain adalah ritus bagi penggembala. Oleh sebab itu, ritus itu juga sering disebut dengan ritus budak angon. Para budak angon sengaja diupacarakan dengan maksud agar mereka tetap bergairah menggembalakan ternaknya (biasanya kerbau dan sapi) serta gembalaannya tetap sehat dan kuat.
Seperti juga ritus-ritus lainnya, pesta dadung selalu dilaksanakan setahun sekali pada masa katiga (kemarau) menjelang musim hujan turun. Akan tetapi, waktu pelaksanaannya kemudian diubah menjadi setiap tanggal 18 Agustus berkaitan dengan perayaan HUT Kemerdekaan R.I. Tempatnya di halaman balai desa.
Pesta tersebut pada awalnya diiringi oleh gamelan renteng, namun karena gamelan tersebut terbakar pada masa DI/TII, kemudian diganti dengan dogdog, dan akhirnya kini diganti dengan gamelan pelog atau salendro. Upacara itu mempunyai beberapa tahapan: kebaktian, Rajah Pamunah, (Tulak Allah, atau Qulhu Sungsang), dan hiburan, yakni tayuban.
Upacara kebaktian mengupacarakan dadung, dan akan dimulai jika segala persyaratan sudah terpenuhi, antara lain: pengumpulan dadung sepuh atau dadung pusaka, yakni dadung yang paling besar (dadung keramat) serta dadung para penggembala, dan sesajen yang terdiri atas: parawanten, rurujakan, dan jajanan pasar. Setelah semua persyaratan dianggap komplit, sesepuh upacara kemudian membakar kemenyan dan membaca mantera. Berikut adalah mantranya:
Allah kaula pangampura
parukuyan rat gumilang
aseupna si kendi wulang
ka gigir ka para nabi
ka handap ka ambu ka rama
nu calik tungtung damar
kadaharan tungtung kukus
sakedap kanu kagungan
Selesai membacakan mantera, dadung para gembala diambil oleh masing-masing pemiliknya. Sedangkan dadung keramat diletakkan di atas sebuah baki dan dibawa oleh ronggeng sambil menari. Dadung tersebut kemudian diberikan kepada Kepala Desa dan diserahterimakan kepada Raksabumi untuk diberikan kepada sesepuh upacara. Gulungan dadung dibuka, ujung yang satu dipegang sesepuh upacara dan ujung yang satunya lagi dipegang oleh ketua RT. Sesepuh upacara kemudian melantunkan kidung rajah pamunah, yang diteruskan dengan pembacaan tulak Allah. Setelah itu, dadung kemudian ditarikan oleh kepala desa disertai para aparat desa dan ronggeng dalam iringan lagu renggong buyut. Setelah selesai, dadung kemudian disimpan kembali dan acara dilanjutkan dengan tayuban. Penarinya adalah para penggembala dan masyarakat yang hadir dalam upacara tersebut. Mereka menari sampai pagi dan berakhir sekitar pukul 04.00 pagi. Kini, pesta dadung tersebut dijadikan sebagai salah satu bagian dari upacara miceun hama (membuang hama) di Situ Hyang dalam rangkaian upacara Seren Taun di Cigugur, Kabupaten Kuningan.
Upacara seren taun adalah ungkapan syukur dan do’a masyarakat sunda atas suka duka yang mereka alami terutama di bidang pertanian selama setahun yang telah berlalu dan tahun yang akan datang. Seren taun dilaksanakan setiap tanggal 22 Bulan Rayagung sebagai bulan terakhir dalam perhitungan kalender sunda. Selain ritual-ritual yang bersifat sakral, digelar juga kesenian dan hiburan. Dengan kata lain kegiatan ini merupakan hubungan antara manusia dengan tuhan, dan juga dengan sesama mahluk atau alam baik lewat kegiatan kesenian, pendidikan, dan sosial budaya.
Upacara Seren Taun diawali dengan upacara ngajayak ( Menjemput Padi ), pada tanggal 18 Rayagung yang dilanjutkan dengan upacara penumbukan padi dan sebagai puncak acaranya pada tanggal 22 Rayagung. Ngajayak dalam bahasa sunda berarti menerima dan menyambut, sedangkan bilangan 18 yang dalam bahasa sunda diucapkan “dalapan welas” berkonotasi welas asih yang artinya cinta kasih serta kemurahan Tuhan yang telah menganugerahkan segala kehidupan bagi umat-Nya di segenap penjuru bumi.
Puncak acara Seren Taun berupa penumbukan padi pada tanggal 22 Rayagung juga memiliki makna tersendiri. Bilangan 22 dimaknai sebagai rangkaian bilangan 20 dan 2. Padi yang ditumbuk pada puncak acara sebanyak 22 kwintal dengan pembagian 20 kwintal untuk ditumbuk dan dibagikan kembali kepada masyarakat dan 2 kwintal digunakan sebagai benih. Bilangan 20 merefleksikan unsur anatomi tubuh manusia.
Baik laki-aki ataupun perempuan memiliki 20 sifat wujud manusia, adalah : 1. getih atau darah, 2. daging, 3. bulu, 4. kuku, 5. rambut, 6. kulit, 7. urat, 8. polo atau otak, 9. bayah atau paru, 10. ari atau hati, 11. kalilipa atau limpa, 12. mamaras atau maras, 13. hamperu ataun empedu, 14. tulang, 15. sumsum, 16. lamad atau lemak, 17. gegembung atau lambung. 18. peujit atau usus. 19. ginjal dan 20. jantung.
Ke 20 sifat diatas menyatukan organ dan sel tubuh dengan fungsi yang beraneka ragam, atau dengan kata lain tubuh atau jasmani dipandang sebagai suatu struktur hidup yang memiliki proses seperti hukum adikodrati. Hukum adikodrati ini kemudian menjelma menjadi jirim ( raga ), jisim ( nurani ) dan pengakuan ( aku ). Sedangkan bilangan 2 mengacu pada pengertian bahwa kehidupan siang dan malam, suka duka, baik buruk dan sebaginya.
Dalam upacara seren taun yang menjadi objek utama adalah PADI. Padi dianggap sebagai lambang kemakmuran karena daerah Cigugur khususnya dan daerah sunda lain pada umumnya merupakan daerah pertanian yang berbagai kisah klasik satra sunda, seperti kisah Pwah Aci Sahyang Asri yang memberikan kesuburan bagi petani sebagai utusan dari Jabaning Langit yang turun ke bumi. Dalam upacara seren taun inilah dituturkan kembali kisah-kisah klasik pantun sunda yang bercerita tentang perjalanan Pwah Aci Sahyang Asri. Selain itu, padi merupakan sumber bahan makanan utama yang memiliki pengaruh langsung pada ke-20 sifat wujud manusia diatas.
Dalam Upacara Seren Taun menampilkan, Damar Sewu merupakan sebuah helaran budaya yang mengawali rangkaian upacara adat seren taun Cigugur. Merupakan gambaran manusia dalam menjalani proses kehidupan baik secara pribadi maupun sosial. Tari Buyung yang merupakan tarian adat sunda yang mencerminkan masyrakat sunda dalam mengambil air,
Pesta Dadung merupakan upacara sakral masyarakat dilaksanakan di Mayasih yang merupakan upaya meruwat dan menjaga keseimbangan antara positif dan negatif di alam, jadi pesta dadung merupakan upaya meruwat dan menjaga keseimbangan alam agar hama dan unsur negatif tidak menggangu kehidupan manusia.
Ngamemerokeun merupakan upacara sakral didalam tradisi Sunda Wiwitan yang masih dilaksanakan di daerah Kanekes ( Baduy ). Upacara ini berintikan “ mempertemukan dan mengawinkan “ benih padi jantan dan betina. Selanjutnya Tarawangsa yakni seni yang berasal dari mataram kira-kira abad ke XV, seni Tarawangsa disebut juga seni jentreng, menginduk kepada suara kecapi, juga ada yang menamai seni ngekngek, menginduk kepada suara tarawangsa. Mula-mula yang dipentaskan hanya tabuhan kecapi dan tarawangsa saja, tapi disertai penari, agar lebih menarik akhirnya Tarawangsa dilengkapi dengan tarian-tarian sederhana yang disebut tari Badaya.
Pwah Aci atau yang lebih dikenal dengan Dewi Sri merupakan tokoh yang telah melegenda dan memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat agraris khususnya tatar sunda. Tari Pwah Aci merupakan salah satu seni tari spiritual yang di dalamnya tersirat ungkapan rasa hormat dan bhakti kepada Sang Pemberi Hidup melalui gerak dan ekspresi.
Seribu Kentongan merupakan acara penutup rangkaian acara di bukit Situ Hyang. lebih dari 1000 orang terdiri dari masyarakat dan anak-anak sekolah serta seluruh peserta pendukung rangkaian acara seren taun menuju Paseban Tri Panca Tunggal ditutup dengan 10 orang rampak kendang. Dimulai dengan pukulan induk oleh Ketua Adat kemudian diikuti oleh ribuan peserta. Ini memiliki makna bahwa kentongan awi ( Bambu ) memiliki arti kita harus senantiasa ingat dan eling pada asal wiwitan atau hukum adikodrati yang menentukan nilai kemanusian dan kebangsaan.
Dilihat dari sisi budaya, upacara adat seren taun yang sudah berjalan tahunan di Kabupaten Kuningan ini, tentunya merupakan hal yang dapat dibanggakan oleh masyarakat karena setiap helatan Seren Taun ini dilaksanakan, dapat mendatangkan ribuan pendatang wisatawan domestik maupun mancanegara. Hanya saja dilihat dari sisi ekonomis belum dapat memberikan efek ekonomi kepada masyarakat sekitar.
Sehingga merupakan tugas kita semua, dalam setiap helaran yang rutin dilaksanakan setiap tahun ini dapat memberikan nilai ekonomi yang fositif kepada masyarakat sekitar. Seperti contoh masyarakat sekitar dapat membuat cendra mata khas Cigugur dan barang-barang yang mempunyai nilai khas sehingga para pendatang mempunyai kenangan tersendiri terhadap upacara seren taun ini dengan membeli barang tersebut.
Semoga di tahun-tahun yang akan datang hal ini dapat dimanfaatkan sebagai ajang peningkatan ekonomi masyarakat dan juga meningkatkan dunia pariwisata masyarakat Kabupaten Kuningan. ( Bagian Humas Setda Kabupaten Kuningan).
B. CINGCOWONG
Cingcowong merupakan tradisi warisan kepercayaan animisme-pemujaan terhadap roh. Tradisi ini dilaksanakan pada saat kemarau panjang.
Sebagai tradisi kuno, ritual cingcowong tidak hanya terdapat di Kuningan. Di beberapa daerah terdapat ritual dengan tujuan serupa, hanya nama dan teknis pelaksanaannya berbeda. Saat ini tradisi cingcowong masih terdapat di Kecamatan Luragung. Ritual ini biasanya dilakukan oleh seorang dukun yang kemampuannya diwariskan secara turun menurun.
Salah seorang tokoh yang masih eksis dan tidak bisa dipisahkan dengan yang namanya Cingcowong adalah ibu Nawita. Dia adalah satu-satunya punduh (kuncen) Cingcowong di Kabupaten Kuningan, yang kini berusaha untuk mempertahankan nilai-nilai tradisi masyarakat Blok Wage Desa Luragung Landeuh, Kecamatan Luragung, Kabupaten Kuningan ratusan tahun lalu itu.
Cingcowong sebenarnya merupakan boneka yang terbuat dari tempurung kelapa dan alat penangkap ikan (bubu). Dulu, boneka ini dijadikan alat media untuk mengadakan acara ritual pada saat kemarau panjang, yakni sebuah ritual yang tujuannya agar segera turun hujan. Terlepas percaya atau tidak dengan tradisi tersebut.
Perlengkapan untuk melaksanakan ritual cingcowong antara lain berupa sebuah boneka berkepala batok kelapa, selembar tikar, sebuah tangga bambu, sisir, cermin, ember berisi air kembang, dan arang kayu.
Ritual ini juga diiringi dengan alat musik berupa bokor kuningan dan buyung tanah. Bokor kuningan ditabuh menggunakan kayu, sedangkan buyung tanah dibunyikan dengan kipas anyaman bambu.
Saat ini, cingcowong tidak lagi hanya dilaksanakan dengan tujuan utama meminta hujan. Namun, ditempatkan sebagai "perayaan" tradisi kuno yang masih bertahan.
Kini kesenian itu diperkenalkan kembali kepada masyarakat yang dikemas lewat pagelaran seni tradisi semacam teater dan bentuk tarian cingcowong.
C. KAWIN CAI
Kabupaten Kuningan secara turun temurun telah memiliki kearifan lokal dalam menghormati dan menjaga air sebagai sumber kehidupan tradisi tersebut diberinama Tradisi Kawin Cai atau sebelumnya disebut Tradisi Mapag Cai. Masyarakat Kuningan meyakini bahwa air bersih yang berlimpah yang bersumber dari alam yaitu mata air Gunung Ciremai sebagai berkah kehidupan dari Yang Maha Kuasa, oleh karenanya harus dihormati dan dijaga kelestariannya. Tradisi Kawin Cai/ Mapag Cai ini adalah prosesi mempertemukan air dari tujuh sumber mata air Cibulan Desa Manis Kidul dengan air dari sumber mata air Balong Dalam Tirtayatra. Ritual ini biasa dilakukan setiap tahun pada hari kamis malam jumat kliwon.
Inti ritual ini mengawinkan air dari 7 sumur mata air Cibulan dengan mata air Balon Dalem Tirtayatra yang berjarak sekitar 5 kilometer. 7 sumur di mata air Cibulan dilambangkan sebagai pengantin laki-laki. Sementara mata air Balon Dalem disimbulkan sebagai mempelai perempuan.
Sebelum pengambilan air di 7 sumur keramat, dilakukan dulu pembacaan doa di depan petilasan Prabu Siliwangi agar acara kawin cai berjalan lancar.
Satu persatu para sesepuh Desa Manis Kidul mengambil air dari 7 sumur keramat. Masing-masing sumur punya nama khusus, seperti sumber kejayaan, kemuliaan, pengabulan, deranjana, cisadane, kemudahan dan sumur keselamatan.
Konon ke 7 sumur itu merupakan peninggalan Prabu Siliwangi usai bertapa meminta air kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi warga sekitar, air dari 7 sumur ini mengandung berkah dan dipercaya bisa mengobati berbagai penyakit.
Di kolam pemandian Cibulan yang kini jadi tempat wisata ini juga terdapat ikan dengan spesis khusus yakni ikan Kancra Bodas yang dikeramatkan warga. Ikan yang bernama latin Cyprinus carpio ini disebut pula sebagai ikan dewa.
Usai penyatuan 7 air sumur keramat, biasanya hujan langsung turun. Percaya atau tidak, sekitar satu menit kemudian hujan mulai membasahi bumi.
Tapi prosesi kawain cai belum selesai. Air 7 sumur diarak ke mata air Balon Dhalem di Desa Babakan Mulia. Bak menyambut mempelai pria, upacara dan tarian khusus digelar.
Acara puncak ritual kawin cai pun tiba. Air dari 7 sumur keramat Cibulan ditumpahkan ke sumber mata air Balon Dalem Tirtayata. Perkawinan yang disimbulkan dengan penyatuan mata air dari dua desa tersebut merupakan perwujudan doa dan harapan warga agar air tetap mengalir deras.
Layaknya pesta pernikahan, air diarak dan diiringi tari -tarian. Tradisi yang dinamakan kawin cai ini, memang dilangsungkan sebagai rasa syukur atas hasil panen yang melimpah.
Tradisi kawin cai ini sarat dengan budaya sunda. Terlihat dari pakaian yang mereka kenakan dan iring-iringan musik. Mereka membawa calon pengantin, yakni kendi yang akan mereka isi dengan air yang diambil dari sumbernya di kolam Balong Dalam Tirta Yatra.
Calon pengantin ini kemudian diarak dengan diiringi tari - tarian. Sepintas, prosesi ini mirip perkawinan dua anak manusia.
Air, calon pengantian pria ini dibawa untuk dipertemukan dengan pasangannya, air yang diambil dari sumber mata air tujuh sumur di kawasan wisata Cibulan, yang lokasi cukup jauh. Sumber mata air di petilasan ini dipercaya merupakan peninggalan Prabu Siliwangi.
Kedua air dari sumber berbeda ini kemudian disatukan dalam satu kendi. Kemudian dibawa kembali balong dalem untuk dikawinkan. Semua prosesi dilangsungkan dengan khidmat sehingga terasa sakral.
Tradisi kawin cai ini sebenarnya merupakan ungkapan rasa syukur atas hasil panen, dan sebagai penghargaan tertinggi terhadap air, apalagi di tengah musim kemarau saat ini.
Prosesi diakhiri dengan makan bersama, yang diambil dari hasil pertanian. Sebagian warga menganggapnya sebagai berkah.
D. TARI BUYUNG
Tari Buyung adalah tarian tradisional masyarakat Cigugur Kuningan Jawa Barat. Tarian ini merupakan tarian adat yang bernilai simbolik tentang rasa syukur manusia atas rahmat Tuhan berupa alam semesta yang indah dan bermanfaat bagi hidup manusia, salah satunya adalah air. Biasanya tarian ini biasa dilakukan oleh masyarakat Cigugur, Kuningan, Cirebon saat Upacara Seren Taun yang diadakan pada bulan Rayagung pada penanggalan Jawa. Setiap gerakan dalam tari Buyung memiliki makna yang tersirat. Menginjak kendi sambil membawa buyung di kepala (nyuhun) erat relevansinya dengan ungkapan “di mana bumi di pijak di situ langit dijunjung”. Buyung adalah sejenis alat yang terbuat dari logam maupun tanah liat yang digunakan oleh sebagian wanita desa pada zaman dulu untuk mengambil air di sungai, danau, mata air, atau di kolam. Gerak lembut dan nuansa alam di kala bulan purnama mengilhami lahirnya karya cipta tari yang mengisahkan gadis desa yang turun mandi dengan teman-temannya dan mengambil air di pancuran Ciereng dengan buyung. Membawa buyung di atas kepala sangat memerlukan keseimbangan. Hal ini berarti bahwa dalam kehidupan ini perlu adanya keseimbangan antara perasaan dan pikiran. Pergelaran tari buyung dengan formasi Jala Sutra, Nyakra Bumi, Bale Bandung, Medang Kamulan, dan Nugu Telu memiliki makna yang menyiratkan bahwa masyarakat petani Sunda adalah masyarakat yang religius. Tuhan diyakini sebagai Causa Prima dari segala asal-usul sumber hidup dan kehidupan. Sementara manusia merupakan mahluk penghuni bumi yang paling sempurna di antara mahluk-mahluk ciptaan Tuhan lainnya. Alam penuh dengan energi. Alam selalu bereaksi dengan tingkah laku manusia, dan ikut mempengaruhi karakter manusia. Eksistensi dalam alam makrokosmos dilihat sebagai sesuatu yang tersusun secara hierarkis. Sehingga, secara moral manusia dituntut untuk menyelaraskan hidupnya dengan alam, yaitu antara mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam raya) untuk membuahkan kesadaran mengenai penghayatan iman terhadap keagungan Tuhan Sang Maha Pencipta.
Dalam tarian itu, manusia diajak untuk lebih dekat dengan alam dan mencintainya sebagai sahabat yang harus terus berjalan bersama. Tarian ini ditampilkan saat upacara Seren Taun yakni upacara syukur atas Kemurahan Tuhan di masyarakat Cigugur.
E. REOG CENGAL
Berbeda dengan Reog yang dikenal didaerah lain, Reog Cengal merupakan perpaduan beragam macam seni. diantaranya seni Karawitan sebagai musik pengiring, silat, dan sandiwara.
Kesenian Reog Cengal yang lahir pada tahun 1946 di desa Cengal kecamatan Japara kabupaten Kuningan ini diawali dengan Tatalu, dilanjutkan Babadayan atau gerakan maju-mundur membuat formasi terhadap satu titik, Banyolan, silat dan diakhiri dengan Sandiwara.
Kesenian yang berasal dari Cengal kecamatan Jjapara ini memang pada nama hampir sama dengan reog yang umum di tatar sunda. Namun secara tatacara bermain dan langkah langkahnya sangat jauh bereda dengan reog yang umum di tatar sunda.
Reog cengal yang terkenal sekitar taun 50-70 -an kini sudah hampir punah dan sekarang pemainnya pun tinggal satu orang.Dahulu reog cengal tampil ketika acara sunatan kawinan dan upaca-upacara lain. Para pemain yang tampil biasanya dari temam-teman dekat dimana ketika mereka bermain tanpa skenario (spontan) isinya sulit ditebak namun menghibur penonton karena lebih mirip acara lawak atau bobodoran.
Ciri-ciri reog cengal:
1.terdiri dari empat orang
2.ke empat orang tersebut membawa reog yang berbeda ukuran
3.ditengah panggung reog terdapat sesajen yang ditengahnya terdapat bambu
Langah-langkah acara dalam reog cengal:
1.tataluh/pembukaan
2.pencaksilat
3.bobodoran sembari diselingi dengan karawitan
4.penutupan
Reog cengal kini sudah diakui sebagai kebudayaan indonesia sejak 2007.
F. PESTA DADUNG
Pesta Dadung adalah kesenian masyarakat Desa Legokherang, Kecamatan Subang, Kabupaten Kuningan. Kesenian ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke 18 dan sejak awal difungsikan untuk ritus kesuburan (pertanian). Ritus ini dimaksudkan sebagai bentuk pemujaan terhadap Ratu Galuh yang dipercaya masyarakat setempat sebagai ratu pelindung hewan. Ratu Galuh adalah penggembala ’batin’ dengan banyak julukan seperti Nyai Pelenggirarang, Sang Ratu Biting, Sang Ratu Bopong, Ratu Geder Dewata, atau Ratu Koja Dewatana. Julukan sebagai ratu penggembala berkaitan erat dengan tipologi masyarakat Sunda yang tergolong sebagai masyarakat pastoral atau masyarakat ladang.
Dadung, artinya tambang, biasanya terbuat dari serat kulit kayu waru yang berfungsi untuk mengikat kerbau atau sapi. Pesta Dadung tak lain adalah ritus bagi penggembala. Oleh sebab itu, ritus itu juga sering disebut dengan ritus budak angon. Para budak angon sengaja diupacarakan dengan maksud agar mereka tetap bergairah menggembalakan ternaknya (biasanya kerbau dan sapi) serta gembalaannya tetap sehat dan kuat.
Seperti juga ritus-ritus lainnya, pesta dadung selalu dilaksanakan setahun sekali pada masa katiga (kemarau) menjelang musim hujan turun. Akan tetapi, waktu pelaksanaannya kemudian diubah menjadi setiap tanggal 18 Agustus berkaitan dengan perayaan HUT Kemerdekaan R.I. Tempatnya di halaman balai desa.
Pesta tersebut pada awalnya diiringi oleh gamelan renteng, namun karena gamelan tersebut terbakar pada masa DI/TII, kemudian diganti dengan dogdog, dan akhirnya kini diganti dengan gamelan pelog atau salendro. Upacara itu mempunyai beberapa tahapan: kebaktian, Rajah Pamunah, (Tulak Allah, atau Qulhu Sungsang), dan hiburan, yakni tayuban.
Upacara kebaktian mengupacarakan dadung, dan akan dimulai jika segala persyaratan sudah terpenuhi, antara lain: pengumpulan dadung sepuh atau dadung pusaka, yakni dadung yang paling besar (dadung keramat) serta dadung para penggembala, dan sesajen yang terdiri atas: parawanten, rurujakan, dan jajanan pasar. Setelah semua persyaratan dianggap komplit, sesepuh upacara kemudian membakar kemenyan dan membaca mantera. Berikut adalah mantranya:
Allah kaula pangampura
parukuyan rat gumilang
aseupna si kendi wulang
ka gigir ka para nabi
ka handap ka ambu ka rama
nu calik tungtung damar
kadaharan tungtung kukus
sakedap kanu kagungan
Selesai membacakan mantera, dadung para gembala diambil oleh masing-masing pemiliknya. Sedangkan dadung keramat diletakkan di atas sebuah baki dan dibawa oleh ronggeng sambil menari. Dadung tersebut kemudian diberikan kepada Kepala Desa dan diserahterimakan kepada Raksabumi untuk diberikan kepada sesepuh upacara. Gulungan dadung dibuka, ujung yang satu dipegang sesepuh upacara dan ujung yang satunya lagi dipegang oleh ketua RT. Sesepuh upacara kemudian melantunkan kidung rajah pamunah, yang diteruskan dengan pembacaan tulak Allah. Setelah itu, dadung kemudian ditarikan oleh kepala desa disertai para aparat desa dan ronggeng dalam iringan lagu renggong buyut. Setelah selesai, dadung kemudian disimpan kembali dan acara dilanjutkan dengan tayuban. Penarinya adalah para penggembala dan masyarakat yang hadir dalam upacara tersebut. Mereka menari sampai pagi dan berakhir sekitar pukul 04.00 pagi. Kini, pesta dadung tersebut dijadikan sebagai salah satu bagian dari upacara miceun hama (membuang hama) di Situ Hyang dalam rangkaian upacara Seren Taun di Cigugur, Kabupaten Kuningan.
0 komentar:
Post a Comment